Kejuaraan ini digelar di GOR Lila Bhuana, Denpasar, Bali pada 1-8 Juli 2022. Unpad mengirimkan dua atlet pencak silat ke ajang bergengsi tersebut dan pulang sebagai peraih medali emas dan perunggu. Kedua atlet tersebut adalah Aurum Nameerah Maraya Ajda yang merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan Dhila Gania Raras dari Bisini Fakultas Ekonomi (FEB). Aurum meraih medali emas pada kategori Hindar Serang Putri Kelas A. Tak hanya itu, ia juga meraih penghargaan sebagai Pesilat terbaik kategori teknik.
Di sisi lain, Dhila meraih medali perunggu di Kelas B Women's Avoidance Attack. 10th Perisai Diri International Championship adalah kompetisi silat internasional yang diselenggarakan setiap tahun oleh organisasi pencak silat Indonesia, Perisai Diri. Kompetisi ini tidak hanya menarik bagi para petarung dalam negeri, tetapi juga pesilat asing. “Kejuaraan ini diadakan untuk memudahkan para atlet dunia memperebutkan piala Presiden Republik Indonesia,” kata ketua panitia kejuaraan Nyoman Yamadiputra, dikutip dari situs resmi Unpad, Senin (11/ 11). 07/2022). 607 pesilat dalam dan luar negeri ambil bagian dalam Kejuaraan Internasional Perisai Diri ke-10 tahun ini. Selain Indonesia, sejumlah perwakilan dari negara lain turut serta dalam acara tersebut, antara lain Australia, Jepang, Brunei, Belanda, dan Amerika Serikat. Bagi yang belum tahu, Perisai Diri adalah sebuah organisasi bela diri yang tergabung dalam IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia), induk organisasi resmi pencak silat Indonesia di bawah KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia).
Menurut buku Meaning of Art and the Arts: An Introduction to Cultural Studies karya Prof. dr. Alo Liliweri, Perisai Diri merupakan salah satu dari sepuluh sekolah pencak silat yang mendapat predikat Perguruan Tinggi Sejarah karena berperan besar dalam sejarah berdirinya dan perkembangan IPSI. Selain itu, tameng atau tameng nasional Indonesia juga banyak dikembangkan di negara lain.
Di sisi lain, Dhila meraih medali perunggu di Kelas B Women's Avoidance Attack. 10th Perisai Diri International Championship adalah kompetisi silat internasional yang diselenggarakan setiap tahun oleh organisasi pencak silat Indonesia, Perisai Diri. Kompetisi ini tidak hanya menarik bagi para petarung dalam negeri, tetapi juga pesilat asing. “Kejuaraan ini diadakan untuk memudahkan para atlet dunia memperebutkan piala Presiden Republik Indonesia,” kata ketua panitia kejuaraan Nyoman Yamadiputra, dikutip dari situs resmi Unpad, Senin (11/ 11). 07/2022). 607 pesilat dalam dan luar negeri ambil bagian dalam Kejuaraan Internasional Perisai Diri ke-10 tahun ini. Selain Indonesia, sejumlah perwakilan dari negara lain turut serta dalam acara tersebut, antara lain Australia, Jepang, Brunei, Belanda, dan Amerika Serikat. Bagi yang belum tahu, Perisai Diri adalah sebuah organisasi bela diri yang tergabung dalam IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia), induk organisasi resmi pencak silat Indonesia di bawah KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia).
Menurut buku Meaning of Art and the Arts: An Introduction to Cultural Studies karya Prof. dr. Alo Liliweri, Perisai Diri merupakan salah satu dari sepuluh sekolah pencak silat yang mendapat predikat Perguruan Tinggi Sejarah karena berperan besar dalam sejarah berdirinya dan perkembangan IPSI. Selain itu, tameng atau tameng nasional Indonesia juga banyak dikembangkan di negara lain.
Kejuaraan Perisai Diri Internasional
Pusdiklat Nasional Perisai Diri menyelenggarakan beberapa kejuaraan internasional yang dikenal dengan Perisai Diri International Championship (PDIC), yaitu:
Kejuaraan Perisai Diri Internasional ke-1 di Semarang tahun 1991Kejuaraan Perisai Diri Internasional ke-2 di Surabaya tahun 1995
Kejuaraan Perisai Diri Internasional ke-3 di Denpasar 2003
Kejuaraan Perisai Diri Internasional ke-4 di Yogyakarta tahun 2005
Kejuaraan Perisai Diri Internasional ke-5 di Bandung tahun 2007
Kejuaraan Perisai Diri Internasional ke-6 di Jakarta tahun 2010
Kejuaraan Perisai Diri Internasional ke-7 di Samarinda Tahun 2012
Kejuaraan Perisai Diri Internasional ke-8 di Denpasar 2014
Kejuaraan Perisai Diri Internasional ke-9 di Malang tahun 2017
Kejuaraan ini diadakan setiap dua tahun sekali.
Perisai Diri resmi berdiri pada 2 Juli 1955 di Surabaya, Jawa Timur. Pendirinya adalah almarhum RM Soebandiman Dirdjoatmodjo, putra seorang bangsawan Keraton Paku Alam.
Sejarah Perisai Diri dan Kejuaraan Perisai Diri Internasional
Sebelum resmi mendirikan Perisai Diri, ia berlatih silat di Perguruan Taman Siswa atas permintaan pamannya Ki Hajar Dewantoro. Teknik bela diri silat mengandung unsur 156 aliran silat dari berbagai daerah di Indonesia dan aliran Shaolin (Siauw Liem) dari Tiongkok. Siswa belajar teknik pertahanan diri yang efektif dan efisien, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata. Metode bela diri yang praktis adalah latihan menghindari serangan, sehingga menghasilkan motto "Cerdas Silat Tanpa Cedera". Pak Dirdjo (RM Soebandiman Dirdjoatmodjo sapaan akrabnya) lahir di Yogyakarta pada tanggal 8 Januari 1913 di Keraton Paku Alam. Ia adalah putra pertama RM Pakoe Soedirdjo, kakek buyut Paku Alam II. Ia menguasai ilmu pencak silat keliling keraton sejak berusia 9 tahun, sehingga ia memiliki kepercayaan diri untuk melatih teman-temannya di kawasan Paku Alaman. Selain pencak silat, ia juga belajar tari di Istana Paku Alam dan berteman dengan Wasi dan Bagong Kusudiardjo. Pak Dirdjo yang dipanggil Soebandiman atau Bandiman oleh teman-teman masa kecilnya tidak puas dengan pencak silat yang diikutinya di sekitar Keraton Paku Alaman. Ingin meningkatkan keterampilan bela diri, ia meninggalkan Yogyakarta untuk mengembara tanpa berjalan setelah menyelesaikan HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) atau Sekolah Tinggi untuk Keguruan Sekolah Menengah. Tempat pertama yang ia kunjungi adalah Jombang di Jawa Timur. Di sana ia belajar silat di KH Hasan Basri, sementara ia memperoleh ilmu agama dan lainnya di Pesantren Tebuireng.
Selain kuliah, ia juga bekerja di Pabrik Gula Peterongan untuk mencari nafkah. Setelah melalui latihan yang sulit dengan lancar dan dengan pemikiran yang cukup, ia kembali ke barat. Setibanya di Solo, ia belajar silat dengan Sayid Sahab. Ia juga belajar kanuragan dengan kakeknya Ki Jogosurasm. Dia tidak puas dengan memperluas pengetahuannya tentang seni bela diri. Tujuan selanjutnya adalah Semarang, dimana ia belajar silat dari Soegit dari sekolah Setia Saudara. Kemudian dilanjutkan dengan studi Kanuragan di Pondok Randu Gunting Semarang. Ketertarikannya pada pencak silat membuat Pak Dirdjo masih belum puas dengan apa yang dimilikinya. Dari sana, setelah pemberhentian pertama di Kuningan, ia pergi ke Cirebon. Di sini ia belajar lebih banyak tentang silat dan kanuragan tanpa melelahkan dirinya dengan terus belajar dari guru yang berbeda.
Selain itu, ia juga mempelajari seni bela diri Minangkabau dan pencak silat Aceh. Tekadnya untuk menggabungkan dan mengembangkan berbagai ilmu yang telah dipelajarinya membuatnya tidak mampu untuk memperoleh ilmu. Baginya, berganti guru berarti mempelajari hal baru dan menambah ilmu yang dirasa kurang. Ia percaya bahwa jika semuanya dilakukan dengan benar dan dengan niat baik, Tuhan akan membimbingnya untuk mencapai tujuannya. Dia juga mulai berlatih seni bela diri sendiri. Kemudian Dirdjo menetap di Parakan, Banyumas dan membuka sekolah silat dengan nama Eko Kalbu yang artinya satu hati.
Di sela-sela kesibukannya berlatih, ia bertemu dengan seorang pendekar Cina yang tergolong dalam silsilah silat Siauw Liem Sie (Shaolinshi), bernama Yap Kie San. Yap Kie San adalah salah satu cucu dari siswa Louw Djing Tie di Hoo Tik Tjay. Menurut catatan sejarah, Louw Djing Tie adalah seorang petarung legendaris di dunia pencak silat, baik di Tiongkok maupun Indonesia, dan salah satu tokoh utama yang membawa ilmu bela diri Kung Fu dari Tiongkok ke Indonesia. Dalam dunia pencak silat, Louw Djing Tie dijuluki Garuda Emas Siauw Liem Pay. Saat itu, pengikut Louw Djing Tie mendirikan Sekolah Kung Fu Garuda Emas di Indonesia. Tn. Dirdjo yang ingin menuntut ilmu tanpa memandang usia dan suku, belajar ilmu bela diri selama 14 tahun di Vihara Siauw Liem (Shaolin) Yap Kie San. Ia tidak diterima sebagai murid seperti biasanya, melainkan melalui pertarungan persahabatan dengan murid Yap Kie San. Yap Kie San melihat bakat Pak Dirdjo dan tergerak untuk menerimanya sebagai murid. Dia dengan tekun menanggung berbagai cobaan dan kesengsaraan sampai dia mencapai puncak pelatihan seni bela diri Yap Kie San. Hanya enam murid Yap Kie San yang selamat, termasuk dua orang non-Cina, Pak Dirdjo dan R Brotosoetarjo, yang kemudian mendirikan sekolah pencak silat Bima (Budaya Indonesia di Mataram). Dengan perlatan yang didapat dalam pengembaraannya dan dipadukan dengan ilmu silat yang diperoleh Siauw Liem Sie dari Yap Kie San, Pak Dirdjo mulai membentuk ilmu yang telah dikuasainya.
Selain itu, ia juga mempelajari seni bela diri Minangkabau dan pencak silat Aceh. Tekadnya untuk menggabungkan dan mengembangkan berbagai ilmu yang telah dipelajarinya membuatnya tidak mampu untuk memperoleh ilmu. Baginya, berganti guru berarti mempelajari hal baru dan menambah ilmu yang dirasa kurang. Ia percaya bahwa jika semuanya dilakukan dengan benar dan dengan niat baik, Tuhan akan membimbingnya untuk mencapai tujuannya. Dia juga mulai berlatih seni bela diri sendiri. Kemudian Dirdjo menetap di Parakan, Banyumas dan membuka sekolah silat dengan nama Eko Kalbu yang artinya satu hati.
Di sela-sela kesibukannya berlatih, ia bertemu dengan seorang pendekar Cina yang tergolong dalam silsilah silat Siauw Liem Sie (Shaolinshi), bernama Yap Kie San. Yap Kie San adalah salah satu cucu dari siswa Louw Djing Tie di Hoo Tik Tjay. Menurut catatan sejarah, Louw Djing Tie adalah seorang petarung legendaris di dunia pencak silat, baik di Tiongkok maupun Indonesia, dan salah satu tokoh utama yang membawa ilmu bela diri Kung Fu dari Tiongkok ke Indonesia. Dalam dunia pencak silat, Louw Djing Tie dijuluki Garuda Emas Siauw Liem Pay. Saat itu, pengikut Louw Djing Tie mendirikan Sekolah Kung Fu Garuda Emas di Indonesia. Tn. Dirdjo yang ingin menuntut ilmu tanpa memandang usia dan suku, belajar ilmu bela diri selama 14 tahun di Vihara Siauw Liem (Shaolin) Yap Kie San. Ia tidak diterima sebagai murid seperti biasanya, melainkan melalui pertarungan persahabatan dengan murid Yap Kie San. Yap Kie San melihat bakat Pak Dirdjo dan tergerak untuk menerimanya sebagai murid. Dia dengan tekun menanggung berbagai cobaan dan kesengsaraan sampai dia mencapai puncak pelatihan seni bela diri Yap Kie San. Hanya enam murid Yap Kie San yang selamat, termasuk dua orang non-Cina, Pak Dirdjo dan R Brotosoetarjo, yang kemudian mendirikan sekolah pencak silat Bima (Budaya Indonesia di Mataram). Dengan perlatan yang didapat dalam pengembaraannya dan dipadukan dengan ilmu silat yang diperoleh Siauw Liem Sie dari Yap Kie San, Pak Dirdjo mulai membentuk ilmu yang telah dikuasainya.